Harus diakui bahwa penelitian sejarah
Jawa tidak selesai pada penelitian Danys Lombard yang terangkum dalam
karya magnup opusnya, “Nusa Jawa: Silang Budaya”, yang cukup
konprehensif itu. Masih banyak fragmen sejarah [lokal] Jawa yang masih
belum tersentuh dan terungkap dalam buku-buku tentang Jawa dan
sejarahnya. Sejarah lokal adalah narasi tak terpisahkan dari “sejarah
besar”. Bahkan, seringkali sejarawan menjadikan sejarah diri (biografi,
otobiografi, dan memoar) dan daerah untuk merangkai sejarah besar.
Buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris
Syeikh Siti Jenar ini mengisahkan sejarah lokal pulau Bawean, yang
menjadi fragmen sejarah Jawa. Bawean, pulau kecil di tengah laut Jawa,
tepatnya 80 mil dari Gresik, sebagaimana diungkap dalam buku ini,
mengandung muatan sejarah yang selama ini masih menjadi teka teki para
peneliti sejarah dan sejarawan.
Dalam buku ini, M. Dhiyauddin
Qushwandhi berani menyimpulkan bahwa, misalnya, huruf Honocoroko
tercipta di Bawean. Alkisah, seorang murid Aji Soko—petualang dari
India—yang bernama Dura ditinggal di Bawean dengan dilengkapi sebilah
keris, sebab Aji Soko akan melanjutkan perjalanannya ke Jawa guna
menundukkan raja Jawa, Ki Dewatacangkar. Ia berpesan agar keris itu
tidak diserahkan kepada siapapun selain pada dirinya. Namun, Aji Soko
lupa akan Dura setelah berhasil mengalahkan Ki Dewatacangkar. Ia lantas
mengutus seorang murid lainnya, Sembada, untuk mengambil keris dimaksud.
Akan tetapi, Dura enggan menyerahkan
keris amanat sang guru. Sedangkan Sembada terus meminta keris tersebut
hingga akhirnya berakhir dengan pertumpahan darah. Aji Soko baru
menyeadari akan pesannya kepada Dura. Ia pun lantas menyusul ke Bawean
dan menemukan dua kuwulanya tewas. Ditulislah sebuah prasasti yang
kemudian dikenal dengan Honocoroko, untuk mengenang keduanya. Prasasti
itu berbunyi: Honocoroko / Dotosowolo / Podojoyonyo / Monggobothongo
yang artinya Ada dua utusan / Sama-sama bertikai / Sama-sama jaya dan
kuat / Sama-sama meninggal.(Bab 2)
Memang, jika berbicara sejarah, hal
itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada. Sejarah adalah
sebuah peninggalan, bisa berupa tulisan, naskah, atau artefak yang bisa
dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tanpa itu, ia hanya menjadi
dongeng atau mitos adanya. Ia hanya cerita fiktif yang tidak bisa
dijadikan pijakan bahwa sesuatu dikatakan sebagai kisah sejarah. Hal ini
dibuktikan oleh penulis dengan menelusuri bukti-bukti sejarah di
lapangan dan telaah literatur yang ketat.
Masih banyak hal lain yang ternyata
diungkap dalam buku ini. Misalnya tentang Putri Condrowulan, ibunda
Sunan Ampel; Nyi Ageng Maloko, putri Sunan Ampel; dan laksamana Cheng
Ho, yang makamnya terletak di Bawean. Semunya masih menjadi teka teki
sejarah. Prihal Dempo—bahasa Cina yang berarti nahkoda—Cheng Ho
tersebut, menurut penulis, kemungkinan memilih menetap di Bawean karena
konstalasi politik Dinasti Ming sedang goncang. Sehingga, ia memimilih
menetap di Bawean sampai akhir hanyatnya. Kini, makam Cheng Ho tersebut
dikenal dengan Jujuk Tampo (Buyut Tampo).
Dengan demikian, kajian dalam buku ini
mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa
kini. Asal mula huruf Honocoroko, makam ibunda Sunan Ampel, Putri
Condrowulan; makam Nyi Ageng Maloko, dan makam Cheng Ho beserta istrinya
diungkap secara deskriptif, meski belum bisa disebut ‘sejarah kritis’.
Dan yang tak kalah penting dari kajian buku ini adalah prihal ajaran
Syeikh Siti Jenar, yang mengalami nasib teragis di Jawa, yang kemudian
diteruskan oleh Sayyidah Waliyah Zainab di Bawean.
Putri pewaris Syeikh Siti Jenar
Waliyah Zainab adalah generasi keempat
penerus ajarah Syeikh Siti Jenar. Sejauh ini belum banyak diungkap
siapa gerangan yang menjadi penerus ajarah Syeikh Siti Jenar yang
kontroversial itu; “Manunggaling Kawulo Gusti”. Beberapa buku yang telah
best seller, seperti karya Munir Mulkhan (2001), Agus Suyoto, dan
sebagainya, baru mengungkapkan bagian awalnya saja. Dhiyauddin, yang tak
lain masih memiliki darah keturunan dari Siti Jenar, mengupas ajaran
tersebut dalam bab khusus.
Sosok Waliyah Zainab ditengarai
mempraktikkan ajaran Siti Jenar, sebab ia mendapat didikan langsung dari
sang ayah, Sunan Duwur, dan kakeknya Sunan Sendang. Sunan Sendang
adalah orang yang mengkodifikasikan ajaran Siti Jenar. Naskah itu tidak
berjudul, tetapi memuat apa yang disebut Sastro Cettho Wadiningrat (Ilmu
Nyata Rahasia Kehidupan), atau disebut juga Ilmu Kabegjan (Ilmu
Mencapai Kebahagian Sejati) yang semakna dengan Hikmah al-Islamiyah,
dalam kajian tawawuf.
Kajian tasawuf sendiri memuat
akidah-syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat. Syeikh Siti Jenar
mengistilahkan catur wiworo werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam
menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan
ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit). Untuk itu, manusia mesti
menanamkan keempat hal pokok itu secara sempurna. Barulah ia akan
mencapai aqidah (keimanan) yang sempurna, sebab keimanan itu tidaklah
hanya sekedar “percaya” an sich kepada Allah, melainkan kecintaan
(hubb). Bila sempurna, maka sang hamba akan merasa bersatu dengan
Tuhannya. Demikianlah juga apa yang dipraktekkan oleh Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab, disamping meneruskan
ajarah Siti Jenar, juga menjadi pemuka agama di Pulau Bawean. Ia
meneruskan benih Islam yang telah dakwah Islam yang telah disemai oleh
Putri Condrowulan. Namun, keberadaannya di Bawean tak lepas dari
konstalasi politik di Jawa. Artinya, Bawean menjadi pulau tempat
pengasingan, yang kelak justru islamisasinya cukup merata, khususnya di
masa Umar Mas’ud, adipati utusan kerajaan Sumenep, Madura, yang datang
kemudian. Sejauh ini baru Jacob Vredeberg yang mengungkap Islamisasi di
Bawean dalam karyanya Bawean dan Islam (1992).
Titik pulau Jawa
Dengan demikian, sejarah Bawean adalah
bagian dari narasi sejarah islamisasi tanah Jawa—untuk menyebut sejarah
Jawa. Dhiyauddin mengibaratkannya sebagai titi dari huruf nun. Nun dan
titiknya, dengan demikian, merupakan logos maknawi Jawa Bawean. Sebab,
filosofi titik-nun ini bukanlah sesuatu yang tidak mengandung muatan
historis. Pada abad ke-14, di masa kedigdayaan Majapahit di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk, tanah Bawean “diinjak” oleh seorang pengelana
dari Persia (Iran) yang dikenal sengan Syeikh Subakir, sebelum
melanjutkan perjalannya ke Jawa.
Demikian juga di masa pelarian negeri
Campa. Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel, yang menjadi bagian dari
kafilah pelarian negeri Campa beserta rombongannya masih transit di
Bawean. Bahkah, beliau tutup usia di sana sebelum sempat melanjutkan
perjalanan ke Jawa. Maka, tidak heran bila kelak Sunan Ampel mengutus
putra dan putrinya, Sunan Bonang dan Nyi Ageng Maloko, melakukan dakwah
Islam di Bawean. Selain itu, Bawean juga menjadi tempat persinggahan
terakhir laksamana muslim dari Cina yang cukup masyhur, Cheng Ho, yang
hingga kini masih menjadi tanda tanya sejarawah. Dan masih banyak lagi!
Nah, di sinilah letak pentingnya buku
ini bagi pecinta sejarah Nusantara, khusunya Jawa. Hasil kajian buku ini
memang cukup fantastik. Namun demikian, tentunya penelitian lebih
lanjut harus terus dilakukan guna membuktikan secara pasti dan sekaligus
mengukuhkan prihal kisah-kisah yang termuat dalam buku ini. Hal ini
bertujuan agar kisah sejarah tidak menjadi sekedar mitologi yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
*Abd. Rahman Mawazi
Penulis keturunan Bawean yang kini menetap di Batam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar